"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid. Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha
SEPENGGAL KISAH WALI SONGO
Maulana Malik Ibrahim / Syekh Magribi
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel /Raden Rahmat
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina." Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang /Raden Makdum Ibrahim
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur kota Rembang.
Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit. Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban. Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga. Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).
Sunan Kalijaga / Raden Said / Lokajaya,Syekh Malaya / Pangeran Tuban /Raden Abdurrahman
Dialah "wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam. Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak
ILMU KASAMPURNAAN KANJHENG SUNAN KALIJAGA & KI LURAH SEMAR
Sunan kalijaga banjur ngucapake sahadat: ((Asyhadu An Laaa Ilaaahaa Illaa’llaah, Wa Asyhadua Anna Muhammadar-Rasulu’llaah)), têgêsipun: ((Ingsung anêkseni, ora ana Pangeran kang sajati, amung Allah, lan anêkseni, Kangjêng Nabi Mukhammad iku utusane Allah ))”. Ature Sunan Kalijaga marang Sang Prabu: “Tiyang nêmbah dhatêng arah kemawon, botên sumêrêp wujud têgêsipun, punika têtêp kapiripun, lan malih sintên tiyang ingkang nêmbah puji ingkang sipat wujud warni, punika nêmbah brahala namanipun, mila tiyang punika prêlu mangrêtos dhatêng lair lan batosipun. Tiyang ngucap punika kêdah sumêrêp dhatêng ingkang dipunucapakên, dene têgêsipun Nabi Mukhammad Rasula’llah: Mukhammad punika makam kuburan, dados badanipun tiyang punika kuburipun rasa sakalir, muji badanipun piyambak, botên muji Mukhammad ing ‘Arab, raganipun manusa punika wêwayanganing Dzating Pangeran, wujud makam kubur rasa, Rasul rasa kang nusuli, rasa pangan manjing lesan, Rasule minggah swarga, lu’llah, luluh dados êndhut, kasêbut Rasulu’llah punika rasa ala ganda salah, riningkês dados satunggal Mukhammad Rasula’llah, kang dhingin wêruh badan, kaping kalih wêruh ing têdhi, wajibipun manusa mangeran rasa, rasa lan têdhi dados nyêbut Mukhammad rasulu’llah, mila sêmbahyang mungêl “uzali” punika têgêsipun nyumêrêpi asalipun. Dene raganipun manusa punika asalipun saking roh idlafi, rohipun Mukhammad Rasul, têgêsipun Rasul rasa, wijile rasaning urip, mêdal saking badan kang mênga, lantaran ashadualla, manawi botên mêngrêtos têgêsipun sahadat, botên sumêrêp rukun Islam, botên mangrêtos purwaning dumados”.Sunan kalijaga ature akeh-akeh, nganti Prabu Brawijaya karsa santun agama Islam, sawise banjur mundhut paras marang Sunan Kalijaga nanging remane ora têdhas digunting, mulane Sunan Kalijaga banjur matur, Sang Prabu diaturi Islam lair batos, amarga yen mung lair bae, remane ora têdhas digunting. Sang Prabu banjur ngandika yen wis lair batos, mulane kêna diparasi.Sang Prabu sawise paras banjur ngandika marang Sabdapalon lan Nayagenggong: “Kowe karo pisan tak-tuturi, wiwit dina iki aku ninggal agama Buddha, ngrasuk agama Islam, banjur nyêbut asmaning Allah Kang Sajati. Saka karsaku, kowe sakarone tak-ajak salin agama Rasul tinggal agama Buddha.”Sabdapalon ature sêndhu: “Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa tanah Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit saking lêluhur paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, kula manawi tilêm ngantos 200 taun, sadangunipun kula tilêm tamtu wontên pêpêrangan sadherek mêngsah sami sadherek, ingkang nakal sami nêdha jalma, sami nêdha bangsanipun piyambak, dumugi sapriki umur-kula sampun 2000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên ingkang ewah agamanipun, nêtêpi wiwit sapisan ngestokakên agami Buddha. Sawêg paduka ingkang karsa nilar pikukuh luhur Jawi. Jawi têgêsipun ngrêti, têka narimah nama Jawan, rêmên manut nunut-nunut, pamrihipun damêl kapiran muksa paduka mbenjing.”Sabdane Wiku tama sinauran gêtêr-patêr.Sang Prabu Brawijaya sinêmonan dening Jawata, ênggone karsa mlêbêt agama Rasul, iya iku rêrupan kahanan ing dunya ditambahi warna têlu: 1: aran sukêt Jawan, 2: pari Randanunut, lan 3: pari Mriyi. Sang Prabu andangu maneh: “Kapriye kang padha dadi kêkêncênganmu, apa gêlêm apa ora ninggal agama Buddha, salin agama Rasul, nyêbut Nabi Mukhammad Rasula’llah panutaning para Nabi, lan nyêbut asmaning Allah Kang Sajati?”Sabdapalon ature sêndhu: “Paduka mlêbêt piyambak, kula botên têgêl ningali watak siya, kados tiyang ‘Arab. Siya punika têgêsipun ngukum, tur siya dhatêng raga, manawi kula santun agami, saestu damêl kapiran kamuksan-kula, ing benjing, dene ingkang mastani mulya punika rak tiyang ‘Arab sarta tiyang Islam sadaya, anggenipun ngalêm badanipun piyambak. Manawi kula, mastani botên urus, ngalêm saening tangga, ngapêsakên badanipun piyambak, kula rêmên agami lami, nyêbut Dewa Ingkang Linangkung. Jagad punika raganipun Dewa ingkang asipat budi lan hawa, sampun dados wajibipun manusa punika manut dhatêng eling budi karêpan, dados botên ngapirani, manawi nyêbut Nabi Mukhammad Rasulu’llah, têgêse Mukhammad niku makaman kubur, kubure rasa kang salah, namung mangeran rasa wadhag wadhahing êndhut, namung tansah nêdha eca, botên ngengêti bilahinipun ing wingking, mila nami Mukhammad inggih makaman kuburan sakalir, roh idlafi têgêsipun lapisan, manawi sampun risak wangsul dhatêng asalipun malih. Wangsul Prabu Brawijaya lajêng manggen wontên pundi. Adam punika muntêl kaliyan Hyang Brahim, têgêsipun kêbrahen nalika gêsangipun, botên manggih raos ingkang saestu, nanging tangining raos wujud badan, dipunwastani Mukhammadun, makaman kuburing rasa, jasanipun budi, dados sipatipun tiyang lan raos. Manawi dipunpundhut ingkang Mahakuwasa, sarira paduka sipate tiyang wujud dados, punika dadosipun piyambak, lantaranipun ngabên awon, bapa biyung botên damêl, mila dipunwastani anak, wontênipun wujud piyambak, dadosipun saking gaib samar, saking karsaning Latawalhujwa, ingkang nglimputi wujud, wujudipun piyambak, risak-risakipun piyambak, manawi dipunpundhut dening Ingkang Maha Kuwasa, namung kantun rumaos lan pangraos ingkang paduka-bêkta dhatêng pundi kemawon, manawi dados dhêmit ingkang têngga siti, makatên punika ingkang nistha, namung prêlu nênggani daging bacin ingkang sampun luluh dados siti, makatên wau têtêp botên wontên prêlunipun. Ingkang makatên punika amargi namung saking kirang budi kawruhipun, kala gêsangipun dereng nêdha woh wit kawruh lan woh wit budi, nrimah pêjah dados setan, nêdha siti ngajêng-ajêng tiyang ngirim sajen tuwin slamêtanipun, ing têmbe tilar mujijat rakhmat nyukani kiyamat dhatêng anak putunipun ingkang kantun. Tiyang pêjah botên kêbawah pranataning Ratu ing lair, sampun mêsthi sukma pisah kaliyan budi, manawi tekadipun sae inggih nampeni kamulyan, nanging manawi tekadipun awon inggih nampeni siksanipun. Cobi paduka-jawab atur-kula punika”.Sang Prabu ngandika: “Mulih marang asale, asal Nur bali marang Nur”.Sabdapalon matur maneh: “Inggih punika kawruhipun tiyang bingung gêsangipun rugi, botên gadhah kawruh kaengêtan, dereng nêdha woh kawruh lan budi, asal siji mantuk satunggal, punika sanes pêjah ingkang utami, dene pêjah ingkang utami punika sewu satus têlung puluh. Têgêsipun satus punika putus, têlu punika tilas, puluh punika pulih, wujud malih, wujudipun risak, nanging ingkang risak namung ingkang asal saking roh idlafi. Uripipun langgêng namung raga pisah kaliyan sukma, inggih punika sahadat ingkang botên mawi ashadu, gantos roh idlafi lapisan: sasi surup mêsthi saking pundi asalipun wiwit dados jalmi. Surup têgêsipun: sumurup purwa madya wasananipun, nêtêpana namane tiyang lumampah, sampun ebah saking prênahipun mlêbêt mbêkta sir cipta lami”.Sang Prabu ngandika: “Ciptaku nempel wong kang luwih”.Sabdapalon matur: “Punika tiyang kêsasar, kados dene kêmladeyan tumemplek wit-witan agêng, botên bawa piyambak, kamuktenipun namung nêmpil. Punika botên pêjah utami, pêjahipun tiyang nistha, rêmênipun namung nempel, nunut-nunut, botên bawa piyambak, manawi dipuntundhung, lajêng klambrangan, dados brêkasakan, lajêng nempel dhatêng sanesipun malih”.Sang Prabu ngandika maneh: “Asal suwung aku bali, mênyang suwung, nalika aku durung maujud iya durung ana apa-apa, dadi patiku iya mangkono”.Sabdapalon: “Punika pêjahipun tiyang kalap nglawong, botên iman ‘ilmi, nalika gêsangipun kados kewan, namung nêdha ngombe lan tilêm, makatên punika namung sagêd lêma sugih daging, dados nama sampun narimah ngombe uyuh kemawon, ical gêsangipun salêbêtipun pêjah”.Sang Prabu: “Aku nunggoni makaman kubur, yen wis luluh dadi lêbu”.Sabdapalon: “Inggih punika pêjahipun tiyang cubluk, dados setan kuburan, nênggani daging wontên kuburan, daging ingkang sampun luluh dados siti, botên mangrêtos santun roh hidlafi enggal. Inggih punika tiyang bodho mangrêtosa. Nun!”Sang Prabu ngandika: “Aku arêp muksa saragaku”.Sabdapalon gumuyu: “Yen tiyang agami Rasul têrang botên sagêd muksa, botên kuwawi ngringkês nguntal raganipun, lêma kakathahên daging. Tiyang pêjah muksa punika cêlaka, amargi nami pêjah, nanging botên tilar jisim, namanipun botên sahadat, botên pêjah, botên gêsang, botên sagêd dados roh idlafi enggal, namung dados gunungan dhêmit”.Pangandikane Sang Prabu: “Aku ora duwe cipta apa-apa, ora ikhtiar nampik milih, sakarsane Kang Maha Kuwasa”.Sabdapalon: “Paduka nilar sipat, botên ngrumaosi yen tinitah linangkung, nilar wajibing manusa, manusa dipunwênangakên nampik milih, manawi sampun narimah dados sela, sampun botên prêlu pados ‘ilmi kamulyaning seda”.Sang Prabu: “Ciptaku arêp mulih mênyang akhirat, munggah swarga seba Kang maha Kuwasa”.Sabdapalon matur: “Akhirat, swarga, sampun paduka-bêkta ngaler ngidul, jagadipun manusa punika sampun mêngku ‘alam sahir kabir, nalika tapêl Adam, sampun pêpak: akhirat, swarga, naraka ‘arasy kursi. Paduka badhe tindak dhatêng akhirat pundi, mangke manawi kêsasar lo, mangka ênggene akhirat punika têgêse mlarat, saênggen-ênggen wontên akhirat, manawi kenging kula-singkiri, sampun ngantos kula mantuk dhatêng kamlaratan sarta minggah dhatêng akhirat adil nagari, manawi lêpat jawabipun tamtu dipunukum, dipunbanda, dipunpaksa nyambut damêl awrat tur botên tampa arta. Klêbêt akhirat nusa Srênggi, nusa têgêsipun manusa, Srêng têgêsipun padamêlan ingkang awrat sangêt. Ênggi têgêsipun gawe. Dados têgêsipun jalma pinêksa nyambut damêl dhatêng Ratu Nusa Srênggi namanipun, punapa botên cilaka, tiyang gêsang wontên ing dunya kados makatên wau, sakulawargane mung nadhah bêras sapithi, tanpa ulam, sambêl, jangan punika akhirat ingkang katingal tata lair, manawi akhiratipun tiyang pêjah malah langkung saking punika, paduka sampun ngantos kondur dhatêng akhirat, sampun ngantos minggah dhatêng swarga, mindhak kêsasar, kathah rajakaya ingkang wontên ing ngriku, sadaya sami trima tilêm kêmul siti, gêsangipun nyambut damêl kanthi paksan, botên salah dipunpragat, paduka sampun ngantos sowan Gusti Allah, amargi Gusti Allah punika botên kantha botên warna, wujudipun amung asma, nglimputi wontên ing dunya tuwin ing akhirat, paduka dereng têpang, têpangipun amung têpang kados cahyanipun lintang lan rêmbulan, kapanggihe cahya murub dados satunggal, botên pisah botên kumpul, têbihipun botên mawi wangênan, cêlak botên panggihan, kula botên kuwawi cêlak, punapa malih paduka, Kangjêng Nabi Musa toh botên kuwawi mandêng dhatêng Gusti Allah, mila Allah botên katingal, namung Dzatipun ingkang nglimputi sadaya wujud, paduka wiji rohani, sanes bangsanipun malaekat, manusa raganipun asal saking nutfah, sowan Hyang Latawalhujwa, manawi panggenanipun sampun sêpuh, nyuwun ingkang enggal, dados botên wongsal-wangsul, ingkang dipunwastani pêjah gêsang, ingkang gêsang napasipun taksih lumampah, têgêsipun urip, ingkang têtêp langgêng, botên ewah botên gingsir, ingkang pêjah namung raganipun, botên ngraosakên kanikmatan, pramila tumrap tiyang agami Buddha, manawi raganipun sampun sêpuh, suksmanipun mêdal nyuwun gantos ingkang sae, nglangkungi ingkang sampun sêpuh, nutfah sampun ngantos ebah saking jagadipun, jagadipun manusa punika langgêng, botên ewah gingsir, ingkang ewah punika makaming raos, raga wadhag ingkang asal roh idlafi. Prabu Brawijaya botên anem botên sêpuh, nanging langgêng manggen wontên satêngahipun jagadipun, lumampah botên ebah saking panggenanipun, wontên salêbêting guwa sir cipta kang êning. Gawanên gêgawanmu, ngGêgawa nêdha raga. Tulis ical, etangan gunggunge: kumpul, plêsatipun wêtaha. Ningali jantung kêtêg kiwa: surut marga sire cipta, jujugipun ingkang cêtha cêthik cêthak. Punika pungkasanipun kawruh, kawruhipun tiyang Buddha. Lêbêtipun roh saking cêthak marginipun, kendêl malih wontên cêthik, mêdal wontên kalamwadi, kentir sagara rahmat lajêng lumêbêt ing guwa indra-kilaning estri, tibaning nikmat ing dhasaring bumi rahmat, wontên ing ngriku ki budi jasa kadhaton baitu’llah ingkang mulya, dadosipun saking sabda kun, dados wontên têngahing jagad swarganing tiyang sêpuh estri, mila jalma keblatipun wontên têngahing jagad, jagading tiyang punika guwa sir cipta namanipun, dipunbêkta dhatêng pundi-pundi botên ewah, umuripun sampun dipunpasthekakên, botên sagêd ewah gingsir, sampun dipunsêrat wontên lokhil-makful, bêgja cilakanipun gumantung wontên ing budi nalar lan kawruhipun, ingkang ical utawi kirang ikhtiaripun inggih badhe ical utawi kirang bêgjanipun. Wiwitanipun keblat sakawan, inggih punika wetan kilen kidul ler : têgêsipun wetan : wiwitan manusa maujud; têgêsipun kulon : bapa kêlonan; têgêsipun kidul : estri didudul wêtênge ing têngah; têgêsipun lor : laire jabang bayi, tanggal sapisan kapurnaman, sênteg sapisan tênunan sampun nigasi. Têgêsipun pur: jumbuh, na; ana wujud, ma; madhêp dhatêng wujud; jumbuh punika têgêsipun pêpak, sarwa wontên, mêngku alam sahir kabir, tanggalipun manusa, lairipun saking tiyang sêpuhipun estri, sarêng tanggalipun kaliyan sadherekipun kakang mbarêp adhi ragil, kakang mbarêp punika kawah, adhi punika ari-ari, sadherek ingkang sarêng tanggal gaibipun, rumêksa gêsangipun elingipun panjanmaning surya, lênggah rupa cahya, kontêning eling sadayanipun, siyang dalu sampun sumêlang dhatêng sadaya rêrupen, ingkang engêt sadayanipun, surup lan tanggalipun sampun samar : kala rumiyin, sapunika lan benjing, punika kawruhipun tiyang Jawi ingkang agami Buddha. Raga punika dipunibaratakên baita, dene suksmanipun inggih punika tiyang ingkang wontên ing baita wau, ingkang nêdahakên pandomipun, manawi baitanipun lumampah mangka salah pandomipun, tamtu manggih cilaka, baita pêcah, tiyangipun rêbah. Pramila kêdah ingkang mapan, mumpung baitanipun taksih lumampah, manawi botên mapan gêsangipun, pêjah malih sagêda mapan, nêtêpi kamanusanipun, manawi baitanipun bibrah, inggih pisah kaliyan tiyangipun; têgêsipun suksma ugi pisah kaliyan budi, punika namanipun sahadat, pisahipun kawula kaliyan Gusti, sah têgêsipun pisah, dat punika Dzating Gusti, manawi sampun pisah raga suksma, budinipun lajêng santun baitu’llah, napas tali, muji dhatêng Gusti, manawi pisaha raga suksma lan budi, mrêtitis ingkang botên-botên, yen tunggal, kabêsaran, tanggalipun botên surup salaminipun, punika kêdah ingkang waspada, ngengêtana dhatêng asaling kawula, kawula ugi wajib utawi wênang matur dhatêng Gusti, nyuwun baitu’llah ingkang enggal, ngungkulana ingkang lami. Raganing manusa punika namanipun baitu’llah, inggih prau gaweyaning Allah, dadosipun saking sabda kun, manawi baitanipun tiyang Jawi sagêd mapan santun baitu’llah malih ingkang sae, baitanipun tiyang Islam gêsangipun kantun pangrasa, praunipun sampun rêmuk, manawi suksma punika pêjah ing ‘alam dunya suwung, botên wontên tiyang, manawi tiyang punika têrus gêsang, ing dunya kêbak manusa, lampahipun saking ênem urut sêpuh, ngantos roh lapisan, sanadyan suksmanipun tiyang, nanging manawi tekadipun nasar, pêjahipun manjalma dados kuwuk, sanadyan suksmanipun kewan, nanging sagêd manjalma dados tiyang (kajêngipun, adiling Kawasa tiyang punika pinasthi ngundhuh wohing panggawene piyambak-piyambak). Nalika panjênênganipun Bathara Wisnu jumênêng Nata wontên ing Mêndhang Kasapta, sato wana tuwin lêlêmbut dipuncipta dados manusa, dados wadya-balanipun Sang Nata. Nalika eyang paduka Prabu Palasara iyasa kadhaton wontên ing Gajahoya, sato wana tuwin lêlêmbut inggih dipuncipta dados tiyang, pramila gandanipun tiyang satunggal-satunggalipun beda-beda, gandanipun kadosdene nalika taksih dados sato kewan. Sêrat tapak Hyang, ingkang dipunwastani Sastrajendrayuningrat, dados saking sabda kun, ingkang dipunwastani jithok têgêsipun namung puji thok. Dewa ingkang damêl cahya murub nyrambahi badan, têgêsipun incêngên aneng cêngêlmu. Jiling punika puji eling marang Gusti. Punuk têgêsipun panakna. Timbangan têgêsipun salang. Pundhak punika panduk, urip wontên ing ‘alam dunya pados kawruh kaliyan woh kuldi, manawi angsal woh kuldi kathah, untungipun sugih daging, yen angsal woh kawruh kathah, kenging kangge sangu gêsang, gêsang langgêng ingkang botên sagêd pêjah.Têpak têgêsipun têpa-tapanira. Walikat: walikane gêsang. Ula-ula: ulatana, lalarên gêgêrmu sing nggligir. Sungsum têgêsipun sungsungên. Lambung: waktu Dewa nyambung umur, alamipun jalma sambungan, lali eling urip mati. Lêmpeng kiwa têngên têgêsipun tekadmu sing lêmpêng lair batin, purwa bênêr lawan luput, bêcik lawan ala. Mata têgêsipun tingalana batin siji, sing bênêr keblatira, keblat lor bênêr siji. Têngên têgêsipun têngênên ingkang têrang, wontên ing dunya amung sadarmi ngangge raga, botên damêl botên tumbas.Kiwa têgêsipun: raga iki isi hawa kêkajêngan, botên wênang ngêkahi pêjah. Makatên punika ungêling sêrat. Manawi paduka maibên, sintên ingkang damêl raga? Sintên ingkang paring nama?inggih namung Latawalhujwa, manawi paduka maibên, paduka têtêp kapir, kapiran seda paduka, botên pitados dhatêng sêratipun Gusti, sarta murtat dhatêng lêluhur Jawi sadaya, nempel tosan, kajêng sela, dados dhêmit têngga siti, manawi paduka botên sagêd maos sastra ingkang wontên ing badanipun manusa, saseda paduka manjalma dhatêng kuwuk, dene manawi sagêd sagêd maos sastra ingkang wontên ing raga wau, saking tiyang inggih dados tiyang, kasêbut ing sêrat Anbiya, Kanjêng Nabi Musa kala rumiyin tiyang ingkang pêjah wontên ing kubur, lajêng tangi malih, gêsangipun gantos roh lapis enggal, gantos makam enggal. Manawi paduka ngrasuk agami Islam, tiyang Jawi tamtu lajêng Islam sadaya. Manawi kula, wadhag alus-kula sampun kula-cakup lan kula-carub, sampun jumbuh dados satunggal, inggih nglêbêt inggih jawi, dados kantun sasêdya-kula kemawon, ngadam utawi wujud sagêd sami sanalika, manawi kula kêpengin badhe wujud, inggih punika wujud-kula, sêdya ngadam, inggih sagêd ical sami sanalika, yen sêdya maujud sagêd katingal sanalika. Raga-kawula punika sipating Dewa, badan-kawula sakojur gadhah nama piyambak-piyambak. Cobi paduka-dumuk: pundi wujudipun Sabdapalon, sampun kalingan pajar, saking pajaripun ngantos sampun botên katingal wujudipun Sabdapalon, kantun asma nglimputi badan, botên ênem botên sêpuh, botên pêjah botên gêsang, gêsangipun nglimputi salêbêting pêjahipun, dene pêjahipun nglimputi salêbêting gêsangipun, langgêng salaminipun”.Sang Prabu ndangu: “Ana ing ngêndi Pangeran Kang Sajati?”Sabdapalon matur: “Botên têbih botên cêlak, paduka wayangipun wujud sipating suksma, dipunanggêp sarira tunggal, budi hawa badan, tiga-tiga punika tumindakipun; botên pisah, nanging inggih botên kumpul. Paduka punika sampun Ratu linuhung tamtu botên badhe kêkilapan dhatêng atur-kula punika”.Sang Prabu ngandika maneh: “Apa kowe ora manut agama?”Sabdapalon ature sêndhu: “Manut agami lami, dhatêng agami enggal botên manut! Kenging punapa paduka gantos agami têka botên nantun kula, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên ewah.Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.” Sang Prabu ngandika: “Kapriye iki, aku wis kêbacut mlêbu agama Islam, wis disêkseni Sahid, aku ora kêna bali agama Buddha maneh, aku wirang yen digêguyu bumi langit.”Sabdapalon matur maneh: “Inggih sampun, lakar paduka-lampahi piyambak, kula botên tumut-tumut.”Sunan Kalijaga banjur matur marang Sang Prabu, kang surasane ora prêlu manggalih kang akeh-akeh, amarga agama Islam iku mulya bangêt, sarta matur yen arêp nyipta banyu kang ana ing beji, prêlu kanggo tandha yêkti, kapriye mungguh ing gandane. Yen banyu dicipta bisa ngganda wangi, iku tandha yen Sang Prabu wis mantêp marang agama Rasul, nanging yen gandane ora wangi, iku anandhakake: yen Sang Prabu isih panggalih Buddha. Sunan Kalijaga banjur nyipta, padha sanalika banyu sêndhang banjur dadi wangi gandane, ing kono Sunan kalijaga matur marang Sang Prabu, kaya kang wis kathandha, yen Sang Prabu nyata wis mantêp marang agama Rasul, amarga banyu sêndhang gandane wangi. (11)Ature Sabdapalon marang Sang Prabu: Punika kasêkten punapa? kasêktening uyuh-kula wingi sontên, dipunpamerakên dhatêng kula. Manawi kula timbangana nama kapilare, mêngsah uyuh-kula piyambak, ingkang kula rêbat punika? Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan, irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula-êmong, kula wirang dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. Manawi kula sumêdya ngêdalakên kaprawiran, toya kula-êntut sêpisan kemawon, sampun dados wangi. Manawi paduka botên pitados, kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang jasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula, adi Guru namung ngideni kemawon, ing wêkdal samantên tanah Jawi sitinipun gonjang-ganjing, saking agênging latu ingkang wontên ing ngandhap siti, rêdi-rêdi sami kula êntuti, pucakipun lajêng anjêmblong, latunipun kathah ingkang mêdal, mila tanah Jawi lajêng botên goyang, mila rêdi-rêdi ingkang inggil pucakipun, sami mêdal latunipun sarta lajêng wontên kawahipun, isi wedang lan toya tawa, punika inggih kula ingkang damêl, sadaya wau atas karsanipun Latawalhujwa, ingkang damêl bumi lan langit. Punapa cacadipun agami Buddha, tiyang sagêd matur piyambak dhatêng Ingkang Maha Kuwasa. Paduka yêktos, manawi sampun santun agami Islam, nilar agami Buddha, turun paduka tamtu apês, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa sanes. Benjing tamtu dipunprentah dening tiyang Jawi ingkang mangrêti. Cobi paduka-yêktosi, benjing: sasi murub botên tanggal, wiji bungkêr botên thukul, dipuntampik dening Dewa, tinanêma thukul mriyi, namung kangge têdha pêksi, mriyi punika pantun kados kêtos, amargi paduka ingkang lêpat, rêmên nêmbah sela. Paduka-yêktosi, benjing tanah Jawa ewah hawanipun, wêwah bênter awis jawah, suda asilipun siti, kathah tiyang rêmên dora, kêndêl tindak nistha tuwin rêmên supata, jawah salah masa, damêl bingungipun kanca tani. Wiwit dintên punika jawahipun sampun suda, amargi kukuminipun manusa anggenipun sami gantos agami. Benjing yen sampun mrêtobat, sami engêt dhatêng agami Buddha malih, lan sami purun nêdha woh kawruh, Dewa lajêng paring pangapura, sagêd wangsul kados jaman Buddha jawahipun”.
Sunan Gunung Jati / Syarif Hidayatullah
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii). Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
Sunan Kudus / Jaffar Shadiq
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang. Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali --yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti "sapi betina". Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
Sunan Muria / Raden Prawoto
Ia putra Dewi Saroh -adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti .
Sunan Geseng / Ki Cokrojoyo
Telah menjadi sunatullah pada masa zaman Majapahit bergulirlah suatu perjalanan permasalahan aqidah dari Hindu – Budha menjadi Islam yang di awali dengan berdirinya Kerajaan Demak Bintoro yang dirajai oleh beliau Raden Patah. Berdirinya Kerajaan Islam di Demak Bintoro Insya Allah pada tahun 1403, yang di sponsori oleh Majelis Wali Songo yang mansyur dengan metode dakwahnya dan kearifan juga keramatnya. Dengan partisipasinya wali songo ini, Allah telah menentukan kehendaknya Kerajaan Islam Demak Bintoro menjadi Kerajaan Besar dan berpengaruh di bumi tanah jawa dan sekitarnya. Dari awal ini kami ingin mengutarakan mahabah kami terhadap wali Allah yang bernama Ki Cokrojoyo yang akhirnya terkenal dengan Sunan Geseng. Pada zaman wali songo terkenallah seorang wali dari jawa yang bernama Raden Said yang terkenal dengan Sunan Kalijogo.
Pada saat itu Sunan Kalijogo syiar agama Islam di suatu daerah, beliau bertemu dengan seorang hamba Allah yang bernama Ki Cokrojoyo, istrinya bernama Rubiyah dan memiliki seorang putra bernama Joko Bedug, pekerjaan Ki Cokrojoyo menyadap gula kelapa, walau hanya dengan kehidupan yang sederhana keluarganya tentram dan bahagia, karena Ki Cokrojoyo dan keluarganya “ nrimo ing pandum ” dengan ketentramannya itu Ki Cokrojoyo senang bersenandung ( uro-uro ), dalam perjalanan syiarnya Kanjeng Sunan Kalijogo bertemu dengan Ki Cokrojoyo, yang akhirnya diajarkan Kalimat Dzikir yang dilantunkan dengan pujian.
Hari – hari Ki Cokrojoyo selalu pujian dengan kalimat yang diajarkan oleh Wali Allah Sunan Kalijogo, dan suatu saat keajaiban terjadi dengan amalan itu saat Ki Cokrojoyo mengambil hasil panennya yang dibuat gula kelapa tiba-tiba berobahlah gula kelapa itu menjadi emas, namun Ki Cokrojoyo tidak menjadi bangga malah beliau langsung bersiku dan berpamitan pada istri dan anaknya untuk mencari Kanjeng Sunan Kalijogo.
Setelah ketemu Kanjeng Sunan Kalijogo menerima Ki Cokrojoyo di terima sebagai murid dan disuruhnya bertapa, yang insya allah dilakukan satu tahun. Setelah satu tahun Kanjeng Sunan Kalijogo teringat akan kondisi muridnya yang bertapa lalu dicarinya dalam pencarian tempat yang digunakan bertapa telah menjadi hutan alang-alang yang akhirnya dibakar oleh Kanjeng Sunan Kalijogo, setelah habis alang-alangnya barulah tampak Ki Cokrojoyo masih dalam kondisi bertapa dan gosong, karena terbakarnya dengan ilalang dan pada saat itu dibangunkannya Ki Cokrojoyo dengan ucapan salam Kanjeng Sunan Kalijogo yang akhirnya terbangun dan langsung sungkem ( sujud ) terhadap Gurunya, setelah itu Kanjeng Sunan Kalijogo memerintahkan untuk mandi dan menyuruh pulang menemui keluarganya, setelah ketemu keluarga diceritakannya segala kejadian pada istrinya dan anaknya. Istri dan anak ikut bersyukur kehadirat Allah atas diselamatkannya Ki Cokrojoyo atas bimbingan Kanjeng Sunan Kalijogo.
Dari perjalanan itu diangkatlah derajat Ki Cokrojoyo di hadapan Allah menjadi Wali Allah, maka Ki Cokrojoyo di beri nama oleh Kanjeng Sunan Kalijogo menjadi Sunan Geseng untuk mengingat laku dan ketawadukannya terhadap Guru sehingga bisa mencapai derajat mulia. Dan setelah itu di tugaskannya Sunan Geseng oleh Sunan Kalijogo untuk syiar Islam, khususnya mengajak masyarakat untuk bertauqid membaca dua kalimat syahadat yang terkenal ajakan Sunan Geseng yaitu masalah ( sasahidan ) membaca dua kalimah syahadat dan menjalankan ajaran Rosul Muhammad SAW.
Selain Sunan Geseng ada murid-murid Sunan Kalijogo yang terkenal lagi yaitu Sunan Bayat (Klaten), Syekh Jangkung (Pati) dan Ki Ageng Selo (Demak). Dari riwayat itulah maka kami jama’ah Dzikrurrohmah sedikit mengingat sejarah beliau karena beliau termasuk Wali Allah yang juga berjasa dalam pengembangan Islam di Tanah Jawa.
METODE DAKWAH ” SUNAN GESENG ”
Sunan Geseng berdakwah dengan sangat santun dan arief, yaitu melakukan pendekatan budaya dengan masyarakat jawa. Seperti yang di lakukan Gurunya Kanjeng Sunan Kalijogo, Berda’wah dengan menggunakan wayang kulit, melakukan selamatan yang tujuannya untuk bersedekah dan muji syukur kehadirat Allah, serta memuliakan tamu-tamu santri, umat, masyarakat, pejabat yang diajak berdzikir dan puji-pujian. Dengan cara itulah masyarakat jawa yang tadinya hindu, budha diajak menyeberang ke Islam.
Begitulah bijaknya Sunan Geseng Wali Allah tidak mematikan budaya-budaya yang baik dan luhur. Yang dilakukan dengan tidak melanggar aqidah dan syariat, tapi sangat ampuh untuk menyatukan, umat masyarakat.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
0 komentar:
Posting Komentar